araka/ca·ra·ka/ Jw n 1 utusan, duta; 2 huruf Jawa

Dear Caraka,
Catatan ini ditulis 36 hari setelah kelahiranmu. Kapanpun kamu membaca tulisan ini, semoga kamu mengerti apa yang sudah ibumu lakukan untukmu. Kami sayang kamu.

Senin, 5 September 2016

Ayah dan ibumu menjalani awal minggu seperti biasanya. Pagi itu, kami ke pasar Puri sebelah rumah untuk membeli bahan makanan seminggu kedepan. Ayah berangkat ke kantor, dan ibumu berkutat di dapur mungil rumah kita.

Jam 11 siang, ibumu dengan santainya mengirimkan pesan singkat kalau ada cairan keluar dari jalan lahir. Ayah menelepon dokter kandungan, dan instruksinya cukup jelas, bawa segera ke rumah sakit. Satu jam setelahnya kami sudah ada di ruang bersalin. Ayah masih sempat bekerja dari rumah sakit dan ibumu menunggu dokter datang dengan menonton tv kabel.

7 jam kemudian, belum ada tanda-tanda juga kamu akan lahir. Air ketuban sudah semakin banyak keluar tapi bukaan jalan lahirmu tidak bertambah. Dokter dan suster sepakat untuk memberikan induksi, yang akan mempercepat kontraksi dan merangsang kamu agar segera keluar. Bila kamu tidak keluar tengah malam ini, terpaksa ibumu harus dioperasi caesar besok pagi karena diperkirakan air ketuban dalam kandungan sudah habis.

Jam demi jam berlalu dan belum ada kemajuan. Suster secara berkala menambahkan dosis sampai maksimal di jam 11 malam. Ibumu sudah mulai kesakitan luar biasa karena kontraksi 1 menit sekali. Ayah cuma bisa menemani dan menenangkan, sambil menghitung waktu kontraksi. Kayak ada yang ngeremes-remes, ninju-ninju perut dari dalem, kata ibumu menggambarkan rasanya kontraksi. Rasa ngantuk sudah hilang sama sekali, berganti rasa kasihan dan serba salah karena ayah cuma bisa menemani di samping kiri.

Selasa, 6 September 2016

Suster sudah menghubungi dokter karena kamu sudah memberikan tanda-tanda akan keluar. Ayah pun menghubungi kakek nenekmu, yang ikut mendoakan dari Bekasi dan Surabaya.

Semua peralatan siap, waktunya membantu kamu keluar dan menyapa dunia. Dr. Asril memberikan instruksi kepada dua suster yang membantu ibumu dari sofa sambil agak mengantuk. Maklum, umurnya sudah cukup banyak dan ini jam 1 pagi. Maju, mundur, maju, mundur, kepalamu mulai tampak sedikit-sedikit. Ibumu terus diberikan semangat agar tidak menyerah untuk mengejan. Ayah cuma bisa berdoa, lagi-lagi mencoba menenangkan dan ikut memberi semangat.

Perlu perjuangan mengejan selama 45 menit untuk bisa membawa kamu keluar. Begitu kepalamu sepenuhnya lolos, dokter segera menarik seluruh tubuhmu. Ternyata kamu sempat terlilit tali pusar, tapi sudah berhasil dibuka lilitannya. Ayah sempat deg moment saat melihat kamu keluar dan tidak bergerak, membiru pula. Ternyata karena masih banyak cairan dalam tubuhmu. Setelah disuction, barulah kamu menangis untuk pertama kalinya.

Tangis bahagia ayah dan ibu tidak terbendung. Sambil memeluk tubuhmu yang sangat kecil lalu mengazanimu, air mata kami terus mengalir dengan senyum. Kami lalu sepakat untuk menyebutkan nama lengkapmu yang sudah disiapkan kira-kira 2 tahun lalu, saat akan dibuatkan surat keterangan lahir oleh suster.

Caraka Alfin Adinata.

Saat namamu pertama kali terpublikasi di Path ayah dan ibu, banyak ucapan dan komentar yang masuk terkait namamu. Teman-teman ibumu banyak memuji namamu yang bagus, dan kira-kira ganteng saat kamu ucapkan dalam perkenalan, 17 tahun dari sekarang. Nenekmu yang di Surabaya sempat ragu, karena yang ia tahu Caraka adalah nama perusahaan peti mati. Belakangan, ternyata yang dimaksud adalah Carrara. (Capek deh).

Sementara itu, teman-teman ayah yang berlatar belakang komunikasi, kebanyakan agak kaget dan tertawa, karena namamu tidak asing. Caraka, mereka yakini diambil dari sebuah kompetisi iklan mahasiswa nasional tahunan di Semarang.

Meskipun banyak referensi nama Caraka, harus ayah akui, pertama kali ayah mendapat ide namamu ya dari kompetisi itu. Dulu nadzar ayah adalah, kalau Ayah angkat piala, kamu akan diberikan nama Caraka. Kebetulan, ibumu setuju karena namanya bagus dan artinya cukup dalam. Yang lucu adalah, ayah selama 4 tahun berturut-turut mencoba mengikuti kompetisi iklan itu dan belum pernah sekalipun angkat piala. Ternyata, ayah justru mengangkat kamu sebagai piala Caraka. (Kalimat ini usulan dari Om Pungkas).

Caraka punya banyak makna, nak. Menurut pendapat ayah pribadi, namamu sama dengan sebuah kompetisi iklan agar kamu punya semangat yang ada dalam rangkaian acaranya. Sifat kreatif, kompetitif, mau mencoba, mau belajar, gigih dan percaya diri dengan karya sendiri adalah sifat-sifat umum semua peserta Caraka. Bukan tidak mungkin, dengan sifat-sifat itu, suatu saat nanti banyak yang agak bingung karena namamu yang disebut sebagai peraih gold dalam malam penganugerahan Caraka 2034.

Menurut yang ayah dan ibu tahu juga, caraka artinya menurut KBBI adalah duta atau utusan. Menjadi duta atau utusan bukan perkara mudah, karena kamu pribadi akan mewakili sebuah institusi / lembaga. Apa yang kamu lakukan, melambangkan sikap / cerminan tempatmu bernaung. Seorang duta pasti harus berani maju, dapat dipercaya, dapat diandalkan dan bisa meyakinkan diri sendiri dan orang lain. Itulah yang kami harapkan ada dalam dirimu.

Untuk melanjutkan nama Caraka, kami memilih Alfin Adinata yang sederhana tapi cakep. Alfin kepanjangan dari Alfika dan Andin, cara klasik untuk memberi warisan nama orang tua. Sementara Adinata adalah bahasa sansekerta yang artinya paling unggul. Sehingga kalau namamu disatukan, artinya adalah “Duta Andin Alfika Yang Paling Unggul”. Semoga maksudnya adalah duta besar dan sebangsanya, bukan duta model kecantikan seperti Larissa dan Natasha atau Duta Sheila On 7 (pada masa ini artis yang punya nama Duta cuma itu).

Rabu, 12 Oktober 2016

Saat ini jam 1 pagi, dan Ayah akhirnya baru bisa mempublish tulisan ini. Satu bulan sudah berjalan, ayah dan ibumu terus mencari pola terbaik untuk mengasuhmu. Sleepless night sudah jadi makanan sehari-hari, dan kami terus berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Updatenya adalah, Ayah baru bisa menggendongmu seminggu terakhir, dan ibumu nampaknya agak kelelahan karena kamu minum banyak sekali akhir-akhir ini.

Sambil memandangi wajahmu yang tertidur pulas, Ayah menyelesaikan tulisan ini dan akan beralih ke pekerjaan berikutnya yang sempat tertunda karena penyesuaian kehidupan sebulan terakhir.

Pesan Ayah, yang paling utama, nikmatilah setiap waktu dalam kehidupan ini, nak. Tidak usah terburu-buru dan ingin cepat besar, karena setiap masa punya cerita indahnya. Waktu akan berjalan seperti biasa, dan manfaatkan setiap waktu untuk hal yang kamu suka. Ayah dan ibu akan selalu ada disampingmu, menemanimu bertumbuh dewasa. Mungkin suatu saat nanti, tiba giliranmu yang menulis catatan seperti ini, entah dengan format apa.

Leave A Comment