Tulisan kesembilan dalam rangka 31 Hari Menulis.

Dari tahun ke tahun, pengelolaan social media cenderung dianggap “gampang”. Ah tinggal postang posting aja kok, apa susahnya sih? Semua orang juga bisa.

Tidak semudah itu, Ferguso

Eit, tidak semudah itu, Ferguso

Masalahnya adalah social media seringnya diperlakukan seperti media konvensional lainnya, kayak sebar brosur gitu. Isinya jualan semua, posting berkali-kali dalam sehari, dan asyik sendiri. Efeknya adalah, engagement rate rendah dan follower growth juga bakal stagnan di segitu-segitu aja.

Jadi social media ini harus diapain ya, biar bisa dapat manfaat maksimal dari media ini? Kembali ke namanya, social media, berarti kita harus bersosialisasi dengan sesama pengguna, bukannya ngomong sendiri. Maka poin pertamanya adalah, kenali siapa diri kita dan target audiens kita siapa. Lalu buatlah kita berkomunikasi dua arah dengan mereka.

Kalau ada seorang lelaki, sebut saja Gading ingin mendekati seorang wanita, sebut saja Gisel, Gading akan mencari tahu topik apa yang disukai sama Gisel. Gading akan belajar mendengarkan seperti apa kehidupan dia, apa yang dia pikirkan, biar obrolannya nyambung. Nah proses ini sering dilewatkan sama kita yang mau bikin konten di social media. Yang penting posting aja, tanpa tahu kira-kira orang-orang bakal suka nggak ya dengan konten yang kita posting.

Nah kalau kita sudah tahu kita ingin menyasar Gisel yang berusia 18-24 tahun, tinggal di kota Jakarta, sering belanja di H&M dan Uniqlo, mendengarkan Spotify lagu-lagu top 40 dan bekerja di daerah SCBD, maka kita dengan mudah akan menentukan channel apa yang kita gunakan untuk ngobrol dengan Gisel. Sudah pasti bukan Facebook. Lebih tepat ke Instagram dan Twitter. Maka cara berbicara di kedua channel ini akan juga berbeda.

Orang-orang yang main Facebook, kalau boleh digeneralisir adalah yang berumur matang dan/atau berada di luar kota besar, itu suka sekali sama cerita yang agak panjang atau video yang bercerita. Agak beda tuh sama orang yang nongkrong di Instagram yang suka foto-foto atau desain bagus. Caption panjang-panjang mah nggak akan dibaca.

Anak Twitter lebih tengil tapi pinter, jadinya mereka suka sahut-sahutan dan diskusi. Cerita panjang lebar akan berubah cerita pendek-pendek dan tempat seru-seruan. Orang Tiktok sukanya joged, dan orang YouTube sukanya video-video yang seru atau bermanfaat.

Nah ini adalah poin kedua. Kalau sudah tahu siapa yang kita ajak ngobrol, tentukan kita akan ngobrol dimana. Karena setiap channel punya karakteristik masing-masing, maka treatmentnya sudah pasti harus berbeda.

Selanjutnya, poin ketiga, coba kembangkan topiknya. Dari sisi kita dan dari sisi mereka. Kita mau jualan multivitamin, misalnya. Sementara si mbak Gisel ini butuh multivitamin biar dia tetap fokus waktu lagi kerja. Kita bisa angkat cerita yang menarik tentang, cara agar tetap fokus kerja di saat lagi di rumah aja. Atau kejadian-kejadian lucu orang nggak fokus saat lagi kerja. Jadi kita nggak nempelin brosur ke muka orangnya, tapi kita ngajak ngobrol dulu. Setelah dekat, baru kita jualan.

Segitu dulu ya, Caraka ngajak naik sepeda sekalian ngabuburit.
Kita ketemu lagi besok, masih bahas seputar social media.
Semangat puasanya!

 

Leave A Comment