Masih inget Tika Yusuf kan? Yang muncul di post beberapa hari yang lalu itu lho.. Iya yang serem itu :p
Beberapa hari lalu, siang-siang tiba-tiba ada bbm, sms sama email masuk. Ternyata dari Tika.
“Bunga (nama samaran) aku keluarkan dari tim. Rencananya begitu.”
Gubrak. Ada apa e? Padahal si Bunga ini tampaknya baik-baik saja. Kerjanya juga bagus.
Ternyata setelah baca emailnya, masalahnya adalah, ketidakcocokan budaya kerja.
Menurut Tika, sebuah tim itu harus satu irama. Dan satu team yang sudah established sebelumnya, pasti sudah terbentuk iramanya. Kalau nggak bisa mengikuti irama / budaya kerja yang ada, mending nggak usah.
Hmm, masalah kerja ini sebenarnya nampak familiar, haha. Kebetulan, setahun terakhir ini karena banyak bergabung di komunitas / perusahaan, jadi masalah budaya kerja ini kayak nggak asing-asing amat.
Sekitar setahunan yang lalu, aku bergabung di salah satu startup baru di Jogja. Bergerak dibidang social-enterprise, dan dipimpin sama orang luar yang kebetulan sedang mencari tim di Jogja. Awalnya, semua baik-baik saja. Sampai aku sadar kalau dia membawa budaya negeri asalnya sebagai budaya kerja tim ini, pokoknya yang suka kerja keras itu lho. Nggak usah disebut persisnya mana :p
Menurut dia, kita harus total dalam bekerja dalam tim ini. Dan hidup kita ya untuk pekerjaan itu. Mau nggak tidur atau tiba-tiba ditelepon jam 1 pagi juga sudah konsekuensinya. Lagi malem mingguan terus ada telepon, ya harus langsung dikerjain.
Akhirnya aku milih untuk mundur, karena merasa nggak nyaman dengan budaya kerja seperti itu. Memang dimana-mana orang baru yang harus menyesuaikan diri dengan budaya kerja yang ada. Kalau engga, ya memang lebih baik nggak usah bergabung 🙂
Yang lebih sederhana sebenarnya adalah masalah kelompok kerja aja deh. Beberapa semester terakhir, beberapa mata kuliah di jurusanku mengharuskan para mahasiswanya untuk bekerja berkelompok selama satu semester.
Nah, dari situ kelihatan. Mana kelompok yang begitu dikasih tugas langsung kerja saat itu juga, mana kelompok yang nggak pernah bener kerjaannya, mana pula yang santai-santai tapi kerjaannya bagus. Semua itu hasil budaya kerja tiap kelompok itu sendiri. Terbentuknya natural, dan nggak bisa dipaksakan.
Jadi kesimpulannya apa ndin? Untuk para pemimpin, ciptakanlah budaya kerja yang menyenangkan dan disepakati serta nyaman untuk semuanya. Untuk yang dipimpin, belajarlah untuk beradaptasi dengan budaya kerja yang ada. Kalau nggak bisa, mending mundur. Daripada kesiksa sendiri 🙂
Selamat long weekend!