“Andin pernah nerima surat? Rasanya sama nggak sih sama nerima e-mail?”, tanya Mas Rizal yang memimpin diskusi kelas Produksi Iklan siang ini.

“Pernah mas, dan rasanya emang beda.”, jawabku singkat, dengan nada kemrungsung seperti biasanya.

Kalau mau jawab beneran, pasti sebenarnya nggak sesingkat itu, tapi karena itu di kelas dan memang terbatas durasinya, yaudah jawaban versi panjangnya dipindah ke blog aja :p

Tentang surat-menyurat ya.. Emm, sebenarnya udah lama sih terakhir kali kirim-kiriman surat. Tapi nggak akan pernah lupa. Yuk flashback.

2005.

Belum banyak orang yang punya handphone. Apalagi koneksi internet. Termasuk dia. Anak tetangga sebelah rumah budeku. Seumuran, satu angkatan. Cantik, menarik. Entah cantik beneran atau aku yang nggak pernah gaul jadi dia tampak cantik.

Nah, dia ada di Semarang, dan aku ada di Surabaya. Kita ketemu cuma 3 hari, waktu aku main kesana sekeluarga pas liburan. Dan begitu sampai Surabaya, aku nggalau. Mbuh piye carane (nggak mau tahu gimana caranya) harus komunikasi. Modyar.

Solusinya cuma satu : Surat.

Satu surat selesai ditulis. Isinya basa basi busuk, haha. Oh iya, sama minta foto, haha lagi. Busuk kan? Namanya juga anak kelas 2 SMP.

Suratnya sudah dikirim dengan bantuin Ibu. Pakai kilat khusus, biar dua hari bisa sampe. Nggak lupa disertakan perangko balasan, biar balesnya cepet. Niat kan? Abis.

Satu minggu.. Dua minggu.. Tiga minggu.. Sebulan. Nggak ada balasan. Modyar kuadrat.

Akhirnya surat kedua dikirim. Isinya (mencoba) memahami kalau mungkin dia sibuk, jadi belum sempat kirim surat. Berharap ada balasan disana. Nggak lupa masukin perangko balasan lagi. Kurang apa coba?

2 minggu kemudian, masih nggak ada jawaban. Haha. *bunuh diri*

Untungnya, seminggu kemudian, sore-sore, pak pos datang ke rumah bawa surat. Untuk Andin Rahmana Putra, dari ********, Semarang. Kebayang nggak sih gimana girangnya?

Sore itu, udah nggak peduli harusnya ada les, ada tugas atau mau mandi sore, pokoknya pengen cepet-cepet bawa suratnya ke kamar dan nyobek amplopnya, ngeluarin isinya.

Dan saudara-saudara, isinya adalah sama-sama basa basi busuk. Cuma dibelakangnya ada kalimat : “Kalau mau fotoku, cari aja di koran gambarnya Dian Sastro, mirip kok, hehe. Oh iya, sejujurnya aku kurang suka surat-suratan ndin. Jadi mungkin ini surat pertama dan terakhirku.”

Begitu doang. Tapi deg-degan waktu nerima sama bacanya, setengah mati. Dan setelah itu rasanya kayak pengen mati. Ya kayak yang di FTV-FTV itu. Udah ga usah dibayangin, malu-maluin 😀

Episodic memory, kalau kata Mbak Pulung, dosen Strategic Planning. Ketika disentil sesuatu, kenangan dimasa lalu yang punya hubungan itulah yang keluar. Asem.

Tapi hal ini nggak bikin aku jadi benci kok sama pos. Tapi justru malah menghargai jasanya. Dengan ini, Andin menobatkan Pos sebagai media komunikasi ter-oke sepanjang sejarah.

Hidup PT. Pos Indonesia!

Leave A Comment